الحجة الساطعة
فى
بيان الطريقة النقشبندية الحقانية
“al-Hujjah al-Sathi’ah fi Bayan al-Thariqah
al-Naqsyabandiyyah al-Haqqaniyyah”
(Argumentasi Cemerlang
dalam Menyingkap Hakikat
Tarekat Naqsyabandiyah Haqqaniyah yang benderang)
Oleh: H. Abbas Arfan Baraja, Lc., M.H.[1]
A. Islam dan Sufisme
Pengertian Sufisme.
Tasawuf atau Sufisme adalah satu cabang keilmuan dalam Islam atau secara keilmuan ia adalah hasil kebudayaan Islam yang lahir kemudian setelah Rasulullah wafat.. Menurut Hakim Hassan dalam al-Tasawwuf fi Syi'ri al-'Arab, istilah tasawuf baru terdengar pada pertengahan abad kedua hijriyah dan menurut Nicholson dalam bukunya al-Tasawwuf al-Islami wa Tarikhihi, pertengahan abad ketiga hijriyah.[2]
Secara etimologis, kata ini berasal dari bahasa Arab, Tasawwafa. Namun para ulama berbeda pendapat dari mana asal usulnya (akar katanya). Ada yang mengatakan dari kata "Shuf' (bulu domba), "Shaf' (barisan), "Shafi/Shofa” (jernih) dan dari kata "Shuffah" (emper Masjid Nabawi yang ditempati oleh sebagian shahabat Nabi saw.). Pemikiran masing-masing pihak itu dilatarbelakangi obsesinya dan fenomena yang ada pada diri para sufi.[3]
Dan Imam al-Qusyairi[4] dalam hal ini memberikan komentarnya yang dinukil Shodiq bin Hasan al-Qonuji dalam kitabnya “Abjad al-Ulum al-Wasyi al-Marqum fi Bayani ahwal al-Ulum” sebagai berikut:
وقال القشيري - رحمه الله - : ولا يشهد لهذا الاسم اشتقاق من جهة العربية ولا قياس والظاهر إنه لقب ومن قال : اشتقاقه من الصفا أو من الصفة فبعيد من جهة القياس اللغوي قال : وكذلك من الصوف لأنهم لم يختصوا بلبسه قلت : والأظهر إن قيل : بالاشتقاق أنه من الصوف وهم في الغالب مختصون بلبسه لما كانوا عليه من مخالفة الناس في لبس فاخر الثياب إلى لبس الصوف فلما اختص هؤلاء بمذهب الزهد والانفراد عن الخلق والإقبال على العبادة اختصوا بمآخذ مدركة لهم.[5]
“Imam al-Qusyairi RA berkata: Tidak ditemukan bukti yang kuat bahwa kata benda ini ( tasawwuf) adalah berakar kata dari bahasa arab juga tidak dianalogikan dari bahasa arab. Secara lahiriyah itu hanya laqab (julukan) saja, adapun pendapat yang mengatakan bahwa kata (tasawwuf) itu berasal dari kata shofa atau shuffah adalah sangatlah jauh dari sudut pandangan qiyas (analogi) ilmu bahasa, begitu juga orang yang berpendapat bahwa itu berasal dari kata Shuf adalah tidak berdasar, karena mereka para sufi tidak mengkhususkan harus memkai pakaian dari shuf (bulu domba). Walau memang mereka pada umumnya memakai pakaian dari wol itu karena mereka ingin memakai pakaian yang yang tidak menunjukan kebanggaan atau kemewahan seperti umumnya orang-orang, lantas mereka yang sebagai besar memakai pakaian sedarhana itu (bahkan rendah dan hina pada masa itu) terkenal dengan sifat zuhud, uzlah (mengasingkan diri) dari keramaian dan memfokuskan diri pada beribadah, maka orang-orang menjuluki mereka dengan istilah sufi (sebagai identitas) yang mudah dari apa yang orang-orang ketahuai.”
Secara terminologispun banyak dijumpai definisi yang berbeda-beda, yang oleh Syekh Yusuf al-Rifa’i[6] dianalisa mencapai lebih kurang dua ribu definisi[7] dan yang paling simpel menurutnya adalah definisi tasawuf yang dibuat oleh Ibn ‘Ajibah[8], yaitu:
صدق التوجه الى الله بما يرضاه و من حيث يرضاه
“Kesungguhan tawajjuh (ibadah) kepada Allah dengan melaksanakan apa-apa yang diridloi-Nya sesuai dengan apa yang diridloi-Nya (diingini-Nya)”
Al-Qonuji mendefinisikan tasawuf dengan;
علم يعرف به كيفية ترقي أهل الكمال من النوع الإنساني في مدارج سعادتهم والأمور العارضة لهم في درجاتهم بقدر الطاقة البشرية [9]
“Sebuah ilmu yang mempelajari bagaimana meningkatkan derajat kesempurnaan sebagai manusia dalam tingkatan-tingkatan kebahagiaan dan persoalan-persoalan yang menghadang (ujian) dalam upaya meningkatan derajat tersebut sesuai dengan kemampuan manusia.”
Dari sekian definisi yang ada dapat dikatakan, bahwa tasawuf adalah moralitas Islam yang pembinaannya melalui proses tertentu (mujahadah dan riyadlah) dengan tetap berpegang teguh pada syariat Islam.
2. Kedudukan Tasawuf dalam Ajaran Islam.
Dan sufisme adalah bagian dari syari'ah Islamiyah, yakni wujud dari Ihsan, salah satu dari tiga kerangka ajaran Islam. Dua sebelumnya ialah Iman dan Islam. Oleh karena itu perilaku sufi harus tetap berada dalam kerangka syari'ah Islam. al-Qusyairi mengatakan: "Seandainya kamu melihat seseorang yang diberi kemampuan khusus (keramat), sehingga ia bisa terbang di angkasa, maka jangan terburu tergiur padanya, sehingga kamu melihat bagaimana dia menjalankan perintah, meninggalkan larangan menjaga hukum yang ada."[10]
Sebagaimana dikatakan bahwa tasawuf adalah identik dengan Ihsan. Dalam hadits Nabi SAW dalam Sahih Muslim, Hadits No. 09;[11] arti ihsan ialah:
أن تعبد الله كأنك تراه فإنك إن لا تراه فإنه يراك
"Beribadah kepada Allah seakan-akan melihat-Nya, jika kalian tidak bisa melihat-Nya, maka harus diketahui bahwa Dia melihat kita".
Pernyataan ini mengandung makna ibadah dengan penuh ikhlas dan khusyu', penuh ketundukan dengan cara yang baik.[12] Namun dalam pandangan penulis Hadits di atas mengindikasikan ada dua maqam (tingkatan) dalam beribadah, yaitu: pertama, maqam musyahadah; mampu melihat Allah dengan mata hati atau ilmu pengetahuan yang dimiliki. Kedua, maqam muraqabah; mampu menghadirkan Allah dalam kesehariannya, sehingga memunculkan rasa diawasi Allah. Kedua maqam itu sama-sama akan memberikan dampak khusu’ dalam beribadah. Dan ilmu tasawuf berusaha mencapai kedua maqam itu dan maqam-maqam yang lain.
Ihsan meliputi semua tingkah laku muslim, baik tindakan lahir maupun tindakan batin, dalam ibadah maupun muamalah, sebab ihsan adalah jiwa atau roh dari iman dan islam. Iman sebagai pondasi yang ada pada jiwa seseorang dari hasil perpaduan antara ilmu dan keyakinan, penjelmaannya yang berupa tindakan badaniah (ibadah lahiriah) disebut Islam. Perpaduan antara iman dan islam pada diri seseorang akan menjelma dalam pribadi dalam bentuk akhlak al-karimah atau disebut ihsan[13] sebagaimana tersebut dalam surat Luqman/31: 22.
Oleh karena itu, maka kedudukan tasawuf dalam ajaran Islam adalah sebuah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari ajaran Islam itu sendiri. Karena memang dasar rujukan dalam tasawuf adalah al-Qur’an, al-Sunnah dan al-Atsar (peninggalan) para ulama terpercaya.[14] Maka dalam keyakinan ini pula, Imam al-Syatibi dalam kitabnya al-I’tisham membela mati-matian tasawuf dan para sufi dari tuduhan orang-orang yang menuduhnya sebagai ilmu yang keluar dari syariat Islam dan membersihkan para sufi dari julukan sebagai ahli bid’ah, bahkan beliau sebaliknya menjuluki orang yang menolak tasawuf dan para sufi sebagai orang bodoh yang ahli bid’ah. Dan beliau menegaskan bahwa para sufi adalah orang selalu menimbang awal perbuatan dan perkataannya dengan itba’ sunnah Nabi dan menjauhi segala yang dilarang dan bertentangan dengan sunnah Nabi.[15]
Dukungan dan pembelaan terhadap tasawuf dan sufi tidak hanya datang dari Imam Syatibi sendirian, namum hampir sebagian besar ulama tradisional dan modern pun turut memperkuat barisan ini, seperti dituliskan Syekh Yusuf al-Rifa’i dalam bukunya bahwa diantara ulama-ulama tradisional (salaf) yang mendukung tasawuf dan para sufi adalah Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Abdul Qahir al-Bagdadi, Imam Ghazali, Imam al-Razi, Imam Izzuddin Abd. Salam, Imam Nawawi, Imam Taj al-Din al-Subki, Imam Suyuthi dan lain-lain. Sedangkan dari kalangan ulama kontemporer, Syekh Yusuf al-Rifa’i mencantumkan fatwa-fatwa mufti timur tengah, yaitu: Syekh Muhammad al-Sayid al-Thanthawi (Syekh al-Azhar yang mantan mufti Mesir), Syekh Ahmad Kaftar (Mufti Suriah), Syekh Muhammad bin Ahmad Hasan al-Khozrazi (mantan menteri wakaf dan urusan Islam Uni Emirat Arab), Syekh Nuh Salman (Mufti militer Yordania), Stekh Hasan Kholid (Mufti Lebanon) dan Syekh al-Sayid Muhammad Abd. Rahman bin Syekh Abu Bakar bin Salim (Mufti Juzur Qamar).[16]
Oleh karenanya, apabila tasawuf diperbandingkan dengan teologi, maka kedua-duanya mempunyai kesamaan tujuan, yakni ma’rifatullah (mengenal Allah), hanya saja berbeda dalam yang ditempuh. Teologi melalui pembuktian yang dapat diterima rasio, sedang tasawuf secara langsung dengan mata hati. Teologi mengkonstruksikan dan memahami keyakinan melalui rasio, sedang tasawuf berusaha merasakan keyakinan itu dengan Qalb (hati nurani). Adapun perbandingan dengan ilmu fiqh, kedua-duanya sama-sama membicarakan bagaimana berkomunikasi dengan Allah SWT. hanya bedanya, fiqh lebih menitikberatkan pada lahiriah sedang tasawuf pada batiniyah. Fiqh memakai pendekatan legal formal, sedang tasawuf berbicara pada hakikat sesuatu dan memberi makna terhadap perilaku lahir itu dengan ikhlas dan menghindarkan diri dari sifat-sifat tercela. Meskipun demikian, secara keilmuan ketiganya dapat dibedakan dalam aspek metode, obyek dan tujuan, namun secara ideal ketiganya menyatu dalam pribadi secara utuh. Sehingga dapat diwujudkan akidahnya benar, ibadahnya benar serta dapat terselamatkan dari sifat-sifat tercela dan berhias dengan sifat-sifat terpuji.[17]
AI-Hujwiri menyatakan. bahwa sufi adalah sebuah nama yang diberikan kepada wali-wali dan ahli-ahli kerohanian yang sempurna. Pengikut sufi ada tiga derajat, yaitu sufi, mutasawwif dan mustaswif. Sufi adalah yang mati pada dirinya dan hidup oleh Kebenaran: ia bebas dari batas-batas kemampuan manusiawi dan benar-benar telah sampai kepada Tuhan. Dan Mutasawwif adalah orang yang berusaha keras untuk mencapai tingkatan ini dengan cara menundukkan hati dan hawa nafsu (mujahadah) dan dalam pencariannya ia meluruskan tingkah lakunya sesuai dengan teladan mereka (para sufi). Sedanggkan Mustaswif adalah orang yang membuat dirinya secara lahiriah serupa dengan mereka (sufi-sufi) untuk sekedar mencari uang, kekayaan, kekuasaan serta keuntungan-keuntungan duniawi, tapi sedikitpun tidak mempunyai pengetahuan tentang kedua hal ini (kesufian dan tasawuf). Kaum sufi yang beutujuan mencari Tuhan menyebut dirinya sebagai pengembara (salik) la meningkat secara perlahan melalui tahap-tahap (maqomat) setelah melalui sejumlah lintasan (thuruqot) guna mencapai tujuan bersatu dengan kenyataan (al-Haqq).[18]
Namun dalam pandangan penulis, istilah sufi dan mutaswwif adalah sama. Karena sama-sama orang yang sedang salik/berjalan menuju Allah SWT dengan melakukan mujahadah lahir dan batin dalam mendapatkan posisi yang dekat dengan Allah SWT. Dan dalam literatur klasik tidak ditemukan perbedaan antara dua istilah di atas, baru kemudian pada literatur modern ada upaya penjelas atau pembeda dengan munculnya tiga istilah di atas. Walau pada hakikatnya kita sulit membuktikan bahwa seseorang yang nyamar sebagai seorang sufi atau mutasawwif yang di sebut mustaswif itu bisa kita tuduhkan pada seseorang yang secara lahiriah seakan-akan ia mengeruk keuntungan duniawi dengan baju sufi, karena kita hanya bisa melihat secara lahiriyah dan batiniah seseorang kita tidak tahu.
Tasawuf atau sufisme adalah salah satu dari jalan yang diletakkan oleh Tuhan untuk menunjukkan kehidupan rohani sesuai dengan ajaran AI-Qur'an. Tasawuf menarik kembali manusia dari keadaan assfala safilin yang hina dalam rangka mengembalikannya ke dalam kesempurnaan.. Jalan mistik, sebagaimana lahir dalam bentuk tasawuf, adalah salah satu jalan di mana manusia berusaha mematikan nafsunva dalam rangka supaya lahir kembali di dalam Ilahi dan oleh karenanva mengalami persatuan dengan Yang Benar (al-Haqq). Ajaran-ajaran sufi berkisar di sekitar dua ajaran dasar; tentang kesatuan transenden wujud dan manusia universal atau manusia sempurna. Menjadi seorang wali dalam Islam adalah dengan melaksanakan semua kemunginan dari keadaan manusia menjadi insan kamil. [19]
3. Sejarah Munculnya Tasawuf dan Sufi.
Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa menurut sebagain besar ahli sejarah mengatakan bahwa pada pertengahan abad kedua atau dipenghujung abad kedua adalah masa di mana munculnya istilah tasawuf dan sufi, walau hakikatnya secara praktis dan realita lapangan prilaku yang mencerminkan kesufian, -seperti ketawakalan, kesabaran dan rajin beribadah bahkan cenderung tajarrud/tajrid[20] (totalitas) dalam beribadah sehingga terkesan mengenyampingkan mutasabbib/kasab (bekerja) untuk kehidupan dunia- itu sudah ada sejak era sahabat yang hidup bersama Rasul SAW.
Mereka adalah adalah sahabat Nabi SAW yang tinggal dan hidup di emper masjid Nabawi yang populer di kenal sebagai Ahl Suffah. Dan Nabi SAW men-taqrir (mendiamkan tanda setuju) apa yang dilakukan Ahl Suffah yang tajrid dalam ibadah dan tidak mutasabbib (tidak bekerja). Hal itu dikarenakan Nabi SAW melihat mereka kuat dan bisa mengambil manafaat dari ke-tajridan tersebut. Di samping Nabi SAW pun men-taqrir prilaku sebagian sahabat yang lain yang tidak tajrid tapi mutasabbib dalam mencari rizqi Allah SWT, karena memang Nabi SAW melihat hal itu lebih cocok bagi jenis sahabat yang tidak tinggal di emper masjid.[21]
Senada dengan hal tersebut di atas, al-Qonuji menukil pendapatnya Imam al-Qusyairi bahwa hakikatnya tasuwuf dan sufi sudah lahir sejak lahirnya Islam itu sendiri, namun orang yang hidup pada generasi pertama bersama Nabi SAW tidak disebut kaum sufi, tapi sahabat Nabi SAW, karena tidak ada julukan yang paling pas dan mulia bagi mereka selain sebutan sahabat Nabi SAW. Begitupun bagi generasi kedua yang di kenal dengan nama tabi’in. Inilah perkataan Imam Qusyairi yang dinukil al-Qonuji dalam bukunya;
قال القشيري : اعلموا أن المسلمين بعد رسول الله - صلى الله عليه وسلم - لم يتسم أفاضلهم في عصرهم بتسمية علىما سوى صحبة الرسول - صلى الله عليه وسلم - إذ لا أفضلية فوقها فقيل لهم الصحابة. ولما أدركهم أهل العصر الثاني سمي من صحب الصحابة : بالتابعين . ثم اختلف الناس وتباينت المراتب . فقيل لخواص الناس ممن لهم شدة عناية بأمر الدين : الزهاد والعباد. ثم ظهرت البدعة وحصل التداعي بين الفرق فكل فريق ادعوا أن فيهم زهادا فانفرد خواص أهل السنة المراعون أنفسهم مع الله - سبحانه وتعالى - الحافظون قلوبهم عن طوارق الغفلة باسم التصوف . واشتهر هذا الاسم لهؤلاء الأكابر قبل المائتين من الهجرة . انتهى [22]
“ Imam al-Qusyari berkata: “Ketahuilah bahwa kaum muslimin sepeninggal Rasulullah SAW tidak dijuluki dengan julukan yang mencerminkan keutamaan mereka pada masa itu dengan nama selain nama para sahabat Nabi SAW, karena tidak ada nama yang lebih utama dan mulia selain nama tersebut. Begitu juga bagi generasi kedua, yaitu orang-orang yang belajar dan hidup bersama para sahabat tidak dinamai selain nam tabi’in. Namun pada generasi berikutnya (ketiga) saat kaum muslimin sudah berbeda-beda (kekutan iman dan ibadahnya), maka orang yang khusus yang teguh memegang dan mengamalkan agamanya dikenal dengan sebutan zuhhad (jamaknya zahid; orang yang zuhud) dan Ubbad (jamaknya abid; orang yang ahli ibadah). Kemudian bid’ah meluas di mana-mana dan saling membanggakan golongannya masing-masing; setiap kelompok mengklaim bahwa mereka memilki orang-orang zahid dan abid. Oleh sebab itu sebagian orang khusus (zahid atau abid) dari golongan ahlus sunnah wal jama’ah yang hanya mencari ridlo Allah SWT dan selalu menjaga hatinya dari bisikan-bisikan yang melalaikan Allah SWT, maka mereka inilah yang disebut kaum sufi yang mengamalkan ilmu tasawuf sehingga nama ini mulai terkenal dan melekat pada tokoh-tokoh sufi sejak sebelum abad kedua Hijriah.”
Imam Ibn Kholdun[23] pun berpendapat sama dengan Imam al-Qusyairi; yang pendapat beliau dinukil al-Qonuji dalam kitabnya:
قال عبد الرحمن بن خلدون : هذا العلم من العلوم الشرعية الحادثة في الملة وأصله : أن طريقة هؤلاء القوم لم تزل عند سلف الأمة وكبارها من الصحابة والتابعين. [24]
“Abdurahman bin Kholdun berkata: “Ilmu (tasawuf) ini termasuk bagian dari ilmu syariat yang baru lahir dalam Islam (baru dalam pengertian menjadi sebuah ilmu yang teoritis dan independen-penulis). Dan pondasi yang membentuknya adalah mereka (para sufi) adalah orang-orang yang berpegang ada prilaku tokoh-tokoh umat Islam, yaitu para sahabat dan tabi’in.”
Memang mengenai asal-usul atau timbulnya sufisme dalam Islam. terdapat berbagai teori yang berbeda-beda. Ada yang mengatakan pengaruh ajaran Kristen dengan faham menjauhi dunia dan hidup mengasingkan diri dalam biara-biara. Atau ajaran filsafat mistik Pythagoras untuk meninggalkan dunia dan pergi berkontemplasi juga dipandang mempengaruhi timbulnya zuhud dan sufisme dalam Islam. Demikian pula filsafat emanasi Plotinus yang mengatakan bahwa wujud ini memancar dari zat Tuhan Yang Maha Esa. Roh berasal dari Tuhan, dan karena pengaruh dunia materi roh menjadi kotor, dan untuk dapat kembali ke alam asalnya roh terlebih dahulu harus dibersihkan dengan meninggalkan dunia dan mendekati Tuhan sedekat mungkin, kafau bisa bersatu dengan Tuhan. Dikatakan, filsafat ini mempunyai pengaruh terhadap munculnya kaum wihdah al-wujud (manunggaling kawula-Gusti) dan sufi dalam Islam. Bahkan ajaran Buddha dengan faham nirwananya dan ajaran Hinduisme yang mendorong manusia untuk meninggalkan dunia dan mendekati Tuhan untuk mencapai persatuan Atman dengan Tan Brahman juga dianggap berpengaruh terhadap sufisme Islam. Namun penelitian modern telah membuktikan bahwa asal-usul sufisme tidak dapat dilacak hanya melalui satu lintasan tunggal saja. Sufisme adalah sesuatu yang rumit, tak ada jawaban yang bersahaja. Ada pengaruh-pengaruh non Islami, Nasrani, Neoplatonisme, Gynostisisme dan Buddhisme dan pengaruh eksternal itu bisa saja terjadi. tetapi laku tasawuf itu sebenarnya telah inheren dalam ajaran Islam. Dalam Al Qur'an Tuhan menerangkan diri-Nya sebagai al-Dzahir (Lahir) dan yang al-Bathin (Batin). Karena itu. semua realitas dari dunia ini juga memilki aspek lahir (eksoteris) dan batin (esoteris). Dalam Islam dimensi batin atau esoteris dari wahyu ini sebagian besar berhubungan dengan tasawuf.[25]
Maka dari sudut pandang Islam; Tasawuf seperti al-din atau al-Islam dalam pengertiannya yang universal adalah abadi dan sekaligus universal. Hal ini tidak berarti bahwa adalah mungkin melaksanakan tasawuf di luar kerangka Islam. Tasawuf yang bisa dilaksanakan secara sah harus merupakan sesuatu yang bersumber dari wahyu AI-Qur'an. Seseorang tidak dapat melaksanakan esoterisme Buddha dalam konteks syariat Islam atau sebaliknya.[26] Dan kalau ada persamaan antara ajaran tasawuf dengan ajaran agama lain; baik dengan ajaran agama samawi (seperti, Yahudi dan Kristen) atau non samawi (seperti, Hindu dan Budha) itu adalah sesuatu hal yang tidak mustahil terjadi. Ajaran Islam saja dengan ajaran samawi lainnya bukankah memilki kesamaan sumber, yaitu sama-sama bersumber dari Allah SWT, bukankah ibadah dalam Islam seperti khitan, kurban, haji, puasa dan lain-lain adalah warisan dari ibadah umat terdahulu. Adapun adanya persamaan ajaran tasawuf dengan ajaran agama non samawi itu adalah sebuah kebetulan saja; bukankah cara berpakaian para biksu agama Budha sama persis dengan orang yang sedang berpakaian kain ihram untuk ibadah haji atau umrah, yaitu sama-sama dari dua helai kain tidak berjait dan sama-sama membuka lengan kanan dalam memakainya, walau ada perbedaan tapi dari warna kainnya saja. Lalu apakah langsung kita katakan bahwa haji dan umrah adalah dipengaruhi ajaran Budha?
Lalu siapakah yang di maksud para sufi atau mutasawwif pada zaman sekarang ini? Ada analisa dan ungkapan menarik dan sederhana yang disampaikan Syekh Yusuf al-Rifai dalam bukunya ketika mendiskripsikan siapakah yang bisa di sebut sufi pada masa ini. Beliau menulis dalam pengantar bukunya al-Sufiyah wa al-Tasawwuf fi Dlau al-Kitab wa al-Sunnah sebagai berikut;
“Julukan sufi, jika dimutlakkan pada zaman sekarang ini, maka yang dimaksud adalah mayoritas kaum muslimin yang bertaqlid pada salah satu Imam empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali) dalam masalah al-Furu’ (mazhab fiqh) dan secara ushul (aqidah) mengikuti pada salah satu dari beberapa ulama salaf yang salih, maka sebagian mereka berpegang teguh pada prinsip teologi Imam Abu Hasan al-Asy’ari yang menjadi pegangan hampir sebagian besar golongan ahlus sunnah wal jama’ah di hampir seluruh penjuru dunia. Prinsip ajaran mazhab ahlus sunnah wal jama’ah ini (yang bermazhab fiqh pada salah satu Imam empat mazhab dan berteologi dengan teologi Asy’ariyyah) adalah ajaran yang sampai sekarang di ajarkan dan dipraktekkan di hampir sebagian besar negara Islam, seperti Universitas al-Azhar Mesir, kecuali lembaga-lembaga pendidikan Islam di negara Saudi Arabia atau negara lain yang dalam naungan dan bantuan saudi Arabia yang berpegangan pada prinsip ajaran Islam yang digagas oleh Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikutnya (Wahhabiyyah) yang menamakan diri dengan nama “al-Da’wah al-Salafiyyyah”. Identitas sufi atau sufiyyah pada zaman ini juga identik dengan kaum muslimin yang merayakan peringatan-peringatan hari besar Islam bahkan menjadi hari libur nasional, seperti peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, Isra’ mi’raj dan lain-lain. Di samping itu mereka tetap menjaga tradisi ziarah kubur ke makam Nabi Muhammad SAW setelah atau sebelum ibadah haji, mengkhatamkan al-Qur’an saat ada kematian, menggunakan hitungan tasbih dalam berzikir pada Allah (atau bershalawat pada Nabi SAW), mentalqin mayit (saat naza’ dan baru selesai dikuburkan), berziarah kubur (pada orang tua, kerabat dan sesama muslim) saat hari raya atau momentum lainnya untuk menganbil pelajaran kematian (kesadaran akan tibanya ajal) dan menghadiahkan pahala baca al-Qur’an (atau tahlil, tasbih, takbir, shalawat dan lainnya) pada arwah-arwah mereka dan masih banyak lagi prilaku-prilaku keagamaan yang telah membudaya dan mentradisi di tengah masyarakat Islam sejak jaman lampau (sebelum munculnya wahabiyyah dan tidak ada penolakan dari ulama-ulama besar saat itu dan hal ini terus bertahan sampai sekarang walau mendapat rongrongan dan penolakan kaum wahabiyyah). Walhasil tradisi sufi ini adalah tradisi mayoritas umat Islam (maka hakikatnya mayoritas umat Islam adalah para sufi) dan mayoritas umat Islam ini dalam Hadits Nabi SAW disebut dengan al-Sawad al-A’adlom. Dan Nabi SAW memerintahkan umatnya untuk tetap berada pada barisan al-Sawad al-A’adlam: “Alaikum bi al-Sawad al-A’adlom!”[27]
B. Sufisme dan Gerakan Tarekat
1. Pengertian Tarekat
Kata Tarekat di ambil dari bahasa arab, yaitu dari kata benda thoriqoh yang secara etimologis berarti jalan, metode atau tata cara. Adapun tarekat dalam terminologis (pengertian) ulama sufi; yang dalam hal ini akan saya ambil definisi tarekat menurut Syekh Muhammad Amin al-Kurdi al-Irbili al-Syafi al-Naqsyabandi[28] dalam kitab Tanwir al-Qulub-nya[29] adalah;
”Tarekat adalah beramal dengan syariat dengan mengambil/memilih yang azimah (berat) daripada yang rukhshoh (ringan); menjauhkan diri dari mengambil pendapat yang mudah pada amal ibadah yang tidak sebaiknya dipermudah; menjauhkan diri dari semua larangan syariat lahir dan batin; melaksanakan semua perintah Allah SWT semampunya; meninggalkan semua larangan-Nya baik yang haram, makruh atau mubah yang sia-sia; melaksanakan semua ibadah fardlu dan sunah; yang semuamnya ini di bawah arahan, naungan dan bimbingan seorang guru/syekh/mursyid yang arif yang telah mencapai maqamnya (layak menjadi seorang Syekh/Mursyid).”[30]
Dari definisi di atas dapat kita simpulkan bahwa tarekat adalah beramal dengan syariat Islam secara azimah (memilih yang berat walau ada yang ringan, seperti rokok ada yang berpendapat haram dan makruh, maka lebih memilih yang haram) dengan mengerjakan semua perintah baik yang wajib atau sunah; meninggalkan larangan baik yang haram atau makruh bahkan menjauhi hal-hal yang mubah (boleh secara syariat) yang sia-sia (tidak bernilai manfaat; minimal manfaat duniawiah) yang semuanya ini dengan bimbingan dari seorang mursyid/guru guna menunjukan jalan yang aman dan selamat untuk menuju Allah (ma’rifatullah), maka posisi guru di sini adalah seperti seorang guide yang hafal jalan dan pernah melalui jalan itu sehingga jika kita dibimbingnya akan dipastikan kita tidak akan tersesat jalan dan sebaliknya jika kita berjalan sendiri dalam sebuah tujuan yang belum diketahui, maka kemungkinan besar kita akan tersesat apalagi jika kita tidak membawa peta petunjuk. Namun mursyid dalam tarekat tidak hanya membimbing secara lahiriah saja, tapi juga secara batiniah bahkan juga berfungsi sebagai mediasi antara seorang murid/salik dengan Rasulullah SAW dan Allah SWT.
Dengan bahasa yang lebih mudah, tarekat adalah sebuah kendaraan baik berupa bis, kapal laut atau pesawat terbang yang disopiri oleh seseorang yang telah punya izin mengemudi dan berpengalaman untuk membawa kendaraannya dengan beberapa penumpang di dalamnya untuk mencapai tujuan.
Tasawuf dapat dipraktekkan dalam setiap keadaaan di mana manusia menemukan dirinya, dalam kehidupan tradisional maupun modern. Tarekat adalah salah satu wujud nyata dari tasawuf. Ia lebih bercorak tuntunan hidup praktis sehari-hari daripada corak konseptual yang filosofis. Jika salah satu tujuan tasawuf adalah al-Wushul ila Allah SWT (sampai kepada Allah) dalam arti ma'rifat, maka tarekat adalah metode, cara atau jalan yang perlu ditempuh untuk mencapai tujuan tasawuf tersebut. [31]
Tarekat berarti jalan seorang salik (pengikut tarekat) menuju Tuhan dengan cara menyucikan diri, atau perjalanan yana ditempuh oleh seseorang untuk mendekatkan diri sedekat mungkin kepada Tuhan. Orang yang bertarekat harus dibimbing oleh guru yang disebut mursyid (pembimbing) atau Syaikh. Syaikh atau mursyid inilah yang bertanggung jawab terhadap murid-muridnya dalam kehidupan lahiriah serta rohaniah dan pergaulan sehari-hari. Bahkan ia menjadi perantara (washilah) antara murid dan Tuhan dalam beribadah. Karena itu, seorang Syaikh haruslah sempurna dalam ilmu syariat dan hakekat. Di samping itu, untuk (dapat) wenjadi guru, ustadz atau Syaikh diperlukan syarat-syarat tertentu yang mencerminkan sikap orang tua yang berpribadi akhlak karimah dan budi pekerti yang luhur.[32]
2. Macam-Macam Tarekat
Di dunia Islam, tarekat berkembang pesat sehingga besar jumlahnya. Yang cukup terkenal di antara banyak tarekat yang pernah muncul sejak abad ke-12 M (6H) adalah Qadiriyah, yang didirikan oleh Syaikh Abdul Qodir al-Jailani (470-561 H). yang mempunyai pengaruh di Irak, Turki, Turkistan, Sudan, Cina. India dan Indonesia. Rifaiyah, yang dinisbahkan kepada Syaikh Ahmad bin Ali Abul Abbas al-Rifai (wafat 578 H) mempunyai pengaruh di Irak dan Mesir. Suhrawardiyah, yang dinisbahkan kepada Abu al-Najib al-Suhrawardi (490-563 H) dan anak saudaranya Syihabuddin Abu Hafs Umar bin Abdullah al-Suhrawardi (539-632 H). Syaziliyah, yang dihubungkan dengan Abu al-Hasan Ahmad al-Syazili (wafat 686 H), yang berpengaruh di Afrika Utara, Siria dan negeri Arab lainnya. Naqsyabandiyah, yang dihubungkan dengan Muhammad bin Muhammad Bahauddin al-Uwaisi al-Bukhari Naqsyabandi (717-791 H), yang mempunyai pengikut di Asia Tengah, Turki, lndia, Cina dan Indonesia. Maulawiyah yang dihubungkan kepada Syaikh Maulana Jalaluddin Rumi (wafat di Turki pada 672 H/1273 M) yang berpengaruh pada masyarakat Turki. Syattariyah, dihubungkan kepada Syaikh Abdullah al-Syattari (wafat di India pada 633 H/ 1236 M) yang mernpunyai pengikut di India dan Indonesia.[33]
Dalam kitab al-Mausu’ah al-Sufiyyah (Ensiklopedi Sufi) di sebutkan ada 170 nama-nama tarekat baik yang pokok atau cabang (seperti tarekat Kholwatiyyah pada hakekatnya adalah cabang dari tarekat Suhrawardiyyah) yang tersebar di seluruh penjuru bumi Namun beberapa diantaranya dianggap sesat atau zindiqah. [34] Sebagaian ulama berpendapat bahwa jumlah tarekat itu sangat banyak dan tidak terhitung sebanyak jumlah bintang di langit.[35]
Sedangkan Jam’iyyah Ahlith Thariqah al-Muktabarah NU menetapkan 44 macam tarekat yang mu’tabarah (diakui keabsahannya). Adapun nama-nama Thariqah Mu’tabarah sejumlah 44 macam itu adalah sebagaimana berikut: 1. ’Umariyyah, 2. Naqsyabandiyyah, 3. Qadiriyyah, 4. Syadziliyyah, 5. Rifa’iyyah, 6. Ahmadiyyah, 7. Dasuqiyyah, 8. Akbariyyah, 9. Maulawiyyah, 10. Kubrawiyyah, 11. Sahrawardiyyah, 12. Khalwatiyyah, 13. Jalwatiyyah, 14. Bakdasyiyyah, 15. Ghazaliyyah, 16. Rumiyah, 17. Sa’diyyah, 18. Gitsiyyah, 19. Sya’baniyyah, 20. Kalsyaniyyah, 21. Hamzawiyyah, 22. Bairumiyyah, 23. Usysyaqiyyah, 24. Bakriyyah, 25. Idrusiyyah, 26. Usmaniyyah, 27. Alawiyyah, 28. Abbasiyyah, 29. Zainiyyah, 30. Isawiyyah, 31. Buhuriyyah, 32. Haddadiyyah, 33. Ghaibiyyah, 34. Khadhiriyyah, 35. Syathariyyah, 36. Bayumiyyyah, 37. Malamiyyah, 38. Uwaisiyyah, 39. Idriyyah, 40. Akabirul Auliyyah, 41. Matbuliyyah, 42. Sunbuliyyah, 43. Tijaniyyah, 44. Samaniyyah. Dan dari sekian jumlah di atas hanya nomor 2, 3 dan 35 yang berkembang dan banyak terdapat di Indonesia. Sedangkan nomor 4, 43 dan 44 hanya berkembang di sebagian daerah saja.[36] Namun dalam pandangan penulis nomor 5 dan 27 pun cukup berkembang di sebagian daerah di Indonesia.
Di samping terdapat bermacam-macam tarekat di Indonesia pun ada organisasi yang mirip tarekat. Beberapa di antaranya hanya merupakan tarekat lokal yang berdasarkan pada ajaran-ajaran dan amalan-amalan guru tertentu, misalnya Wahidiyah dan Shiddiqiyah di Jawa Timur atau tarekat Syahadatain di Jawa Tengah. Dan untuk menarik garis perbedaan yang tegas antara tarekat semacam itu dengan aliran kebatinan hampir-hampir mustahil. Dan ternyata banyak aliran kebatinan, bahkan yang tampaknya anti Islam dan mengaku bersumber pada kepercayaan leluhur, sesungguhnya sangat dipengaruhi oleh tasawuf. Di antara tarekat-tarekat yang merupakan cabang-cabang dari gerakan sufi internasional misalnva Khalwatiyah (Sulawesi Selatan), Syattariyah (Sumatera Barat dan Jawa). Syaziliyah (Jawa Tengah). Qadiriyah, Rifa’iyah, Idrisiyah atau Ahmadiyah, Tijaniyah dan yang paling besar adalah Naqsyabandiyah.[37]
Shiddiqiyah dan Wahidiyah merupakan tarekat yang relatif baru berkembang. Kedua tarekat ini barangkali lebih tepat disebut pseudo-tarekat, sebab ada beberapa hal yang berbeda dengan umumnya tarekat, malah Wahidiyah secara resmi menyebut dirinya bukan tarekat melainkan sebagai gerakan Sholawatiyah. Abdurrahman Wahid berpendapat bahma Wahidiyah lebih tepat disebut gerakan tasawuf non tarekat. sebab legitimasi bagi pendiri gerakan ini yang berbentuk ijazah diperoleh melalui impian atau wangsit. Hal ini berbeda dengan umumnya gerakan tarekat yang ada di mana lazimnva ijazah diperoleh melalui personitikasi seorang guru yang mempunyai urutan secara vertikal sampai kepada Sayidina Ali bin Abi Thalib (kecuali Naqsyabandiyah yang bermuara dari Sayidinia Abu Bakar al-Shidiq) selanjutnya mendapatkan ilmu tersebut dari Raslullah SAW.[38]
Zikir adalah salah satu hal yang urgen dalam gerakan tarekat. Cara berzikir penganut tarekat meskipun memiliki tujuan yang sama, tapi dalam prakteknya, lafad-lafadnya atau urutan-urutannya sering kali berbeda. Maka perbedaan cara zikir inilah yang kemudian mejadi indikator utama perbedaan aliran dalam tarekat. Perbedaan ini disebabkan oleh rumusan dan temuan mengenai formula dzikir yang disusun oleh masig-masing pendiri tarekat. Sebaliknya, meskipun jika dilihat dari namanya, tarekat memiliki macam-macam aliran yang berbeda, tetapi pada hakekatnya semua tarekat memiliki kesamaan tujuan, yaitu ma’rifat kepada Allah SWT.
Dalam hal-hal tertentu sulit menarik perbedaan yang tegas antara tarekat dengan Kejawen dalam bentuk mistik kebatinan, karena unsur-unsur tasawuf banyak mempengaruhi mistik Jawa, sehingga menjadi suatu adonan yang menarik sebagai Sufisme Jawa. [39] Dan ini dapat menjadi bukti cukup kuat bahwa Islam di Indonesia dan khususnya di Jawa adalah Islam yang bernuansa tasawuf, maka benarlah apa yang dikatakan ahli sejarah bahwa para wali (wali songo khususnya) adalah para ulama syariat yang sufi.
3. Hukum Mempelajari Ilmu Tasawuf dan Masuk Tarekat.
Imam Ghazali berpendapat wajib hukumnya belajar ilmu tasawuf; dengan argumentasi bahwa ketika para ulama telah sepakat bahwa ilmu syariat adalah ilmu yang paling mulai dari sekian banyak ilmu, maka ilmu yang mempelajari hakikat syariat, yaitu ilmu tasawuf jelas menjadi lebih utama dari ilmu syariat, karena ilmu fiqh hanya berorientasi pada bagaimana sebuah ibadah bisa sah dan tidak batal, taetapi ilmu tasawuf berupaya mengetahui bagaimana sebuah ibadah itu bisa maqbul (diterima) dan tidak mardud (ditolak).[40]
Begitupun Syekh Muhammad bin al-Shadiq al-Ghamari al-Hasani[41] berpendapat wajib aini bagi setiap muslim untuk belajar tasawuf dan masuk kedalam salah satu tarekat dengan delapan argumentasi yang beliau sebutkan, yaitu: a). Ilmu tasawuf adalah bagian dari al-Ihsan dalam hadits Nabi SAW yang sahih dan mashur itu dan agama Islam pada seseorang baru sempurna jika ia sudah memilki iman, islam dan ihsan, b). Ilmu tasawuf adalah ilmu yang mempelajari bagaimana mengetahui penyakit-penyakit hati dan upaya penyembuhannya agar seseorang bisa mencapai derajat utama dan bahagia, sabagaimana disebut dalam Q.S. al-Syams: 9, c). Ilmu tasawuf mampu memperbaiki akhlak seseorang dan mensucikannya agar hati bisa menentang hawa nafsu dan mau melaksanakan ibadah dengan ikhlas seberat apapun, d). amalan tasawuf adalah amalan yang telah di lakukan para sahabat Nabi SAW, para tabiin dan para ulama salaf yang salih, sedangkan mengikuti prilaku mereka adalah sangat di anjurkan bahkan diperintahkan Islam, e). masuk dalam tarekat dengan mengikuti arahan dan bimbingan seorang mursyid yang telah sempurna dalam tingkatanya adalah termasuk mentaati perintah Allah dalam Q.S. Luqman: 14, f). masuk ke dalam tarekat bisa menambah terang mata hati seseorang, sehinnga ia mampu memliki pandangan hati yang tajam, jernih dan selalu ingat Allah kapanpun juga, g). masuk ke dalam tarekat dengan bimbingan seorang mursyid yang arif mampu mengarahkan seseorang untuk sampai kepada Allah dengan cepat dan aman dari berbagai godaan, karena ada bimbingan lahir dan batin dari mursyidnya dan h), masuk ke dalam tarekat berarti akan membiasakan dan memperbanyak zikir pada Allah SWT, sedang zikir sudah tidak diragukan lagi adalah bagian dari perintah Allah untuk sebanyak-banyaknya dilakukan dan zikir sebagimana janji Allah dan Rasul-Nya mampu menjernihkan hati dan menenangkan hati.[42]
C. Tarekat Naqsyabandiyyah
1. Sebelas Prinsip Tarekat Naqsyabandiyyah
Tarekat ini memilki sebelas prinsip; delapan prinsip berbahasa Persia di kemukakan oleh Syekh Abdul Khaliq al-Ghujdawani (yang berada pada urutan ke-sebelas dari atas dalam silsilah tarekat Naqsyabandi Haqqani) dan tiga prinsip berikutnya berbahasa arab yang diasaskan oleh Syekh Muhammad Bahauddin al-Naqsyabandi (yang berada pada urutan ke-tujuhbelas dari atas dalam silsilah tarekat Naqsyabandi Haqqani). Kesebelas prinsip itu adalah sebagai berikut[43]:
a. Bernapas Secara Sadar ("Hosh dar dam")
Hosh berarti "pikir". Dar berarti "dalam". Dam berarti "napas". Artinya, menurut Abdul Khaliq al-Ghujdawani (q), bahwa : "Pencari/pejalan/murid yang bijak harus melindungi napasnya terhadap kealpaan/kesembronoan, menarik dan menghembuskan, dengan itu selalu menjaga kalbunya berada dalam Hadhirat Allah; dan dia harus menghidup kan napasnya dengan pengabdian dan penghambaan dan mempersembahkan pengabdian itu kepada Tuhannya penuh dengan kehidupan / kegairahan, karena setiap tarikan dan hembusan napas dengan demikian (Hadhirat) itu adalah hidup dan menyambung dengan Hadhirat Ilahi. Setiap tarikan dan hembusan napas dengan kealpaan/kecerobohan adalah mati, terputus hubungan dengan Hadhirat Ilahi."
Ubaidullah al-Ahrar (q) mengatakan, "Missi paling penting dalam Thariqat ini adalah untuk melindungi napasnya, dan dia yang tak dapat menjaga napasnya, baginya akan dikatakan, ‘dia telah kehilangan dirinya.'"
Shah Naqshband (q) mengatakan, "Thariqat ini dibangun atas dasar napas. Sehingga adalah suatu keharusan bagi semuanya untuk menjaga napasnya pada waktu menarik dan menghem buskan dan selanjutnya, untuk menjaga napasnya dalam interval antara menarik dan menghembuskan napas."
Shaikh Abul Janab Najmuddin al-Kubra mengatakan dalam bukunya, Fawatih al-Jamal, "Zikir mengalir dalam diri setiap makhluq hidup dengan keharusan napasnya – meskipun tanpa niat – sebagi suatu tanpa ketundukan, yang adalah bagian dari penciptaannya. Melalui napasnya, bunyi huruf "Ha" dari asmaul husna Allah dibuat dalam setiap penghembusan dan penarikan dan itu adalah tanda dari Essensi Tak-Nampak sedang mengungkapkan penekanan Ke-Unik-an Allah. Jadi sangatlah penting untuk selalu "hadir" dengan napas itu, agar supaya menyadari (merasakan) Essensi dari Al Khaliqu."
Nama 'Allah' yang melingkupi sembilanpuluh sembilan asma ul-husna terdiri dari empat huruf : Alif, Lam, Lam dan Hah (ALLAH). Pengikut Sufi mengatakan bahwa Dzat Allah Azza Wa Jalla yang gaib sempurna dinyatakan dengan huruf terakhir, "Ha" itu. Huruf ini mewakili Dia Yang Maha gaib Sempurna (Ghayb al-Huwiyya al-Mutlaqa lillah 'azza wa jall). Lam pertama adalah untuk identifikasi (tacrif) dan Lam kedua adalah untuk penekanan (mubalagha).
Memelihara napasmu dari ketidak-pedulian akan menuntunmu kepada Hadhirat Nya secara utuh, dan Hadhirat Utuh akan menuntun engkau kepada Pandangan (Vision) utuh, dan Pandangan (Vision) utuh akan menuntun engkau kepada Manifestasi Utuh sembilanpuluh sembilan asma ul husna Allah. Allah akan menuntun engkau kepada Manifestasi sembilanpuluh sembilan Asma Nya dan keseluruhan Asma Nya yang lain, karena dikatakan bahwa, "Asma Allah adalah sebanyak napas umat manusia."
Hendaknya diketahui oleh semua bahwa menyelamatkan napas dari ketak-pedulian adalah suatu proses yang sukar bagi seorang pencari.. Sehingga mereka harus melakukan hal itu dengan mencari ampunan (istighfar) karena mencari ampunan akan membersihkan dan mensucikan diri kita dan mempersiapkan si pencari untuk Manifestasi Sesungguhnya Allah yang memang berada dimana-mana.
b.Perhatikan Langkahmu ("Nazar bar qadam")
Itu artinya bahwa sang pencari sewaktu berjalan hendaknya pandangan matanya hanya tertuju kepada kakinya saja. Kemanapun kakinya hendak dia tempatkan, pandangan matanya hendaknya berada disitu pula. Dia tidak diperkenankan melemparkan pandangannya kesana kemari, untuk melihat kekiri atau kekanan atau kedepannya, karena pemandangan yang tak perlu akan menutupi kalbunya. Kebanyakan tabir pada kalbu diciptakan oleh gambar(an) yang ditransmisikan dari mata kepada pikiran selama menjalani kehidupan sehari-hari. Hal-hal ini mungkin (boleh jadi) mengganggu (menggoncangkan) kalbumu dengan turbulensi (gambaran dari gerak air sewaktu ombak mendampar karang), karena berbagai macam keinginan yang (telah) dicetak di dalam pikiran kita (oleh berbagai gambar(an) itu). Bayangan-bayangan tersebut adalah seperti tabir yang menutupi kalbu. Mereka menghadang Cahaya Hadhirat Ilahiah. Itulah sebabnya para wali Sufi tidak membolehkan para pengikutnya, yang telah membersihkan kalbu mereka melalui Dhikr berkesinambungan, untuk melihat selain kepada kaki mereka. Kalbu mereka sudah seperti kaca cermin, memantulkan dan menyerap gambar (image) secara mudah. Gambar ini akan menyimpangkan mereka dan membawa berbagai kekotoran (ketak-murnian) kedalam kalbu mereka. Maka para pencari diperintahkan untuk merendahkan pandangannya agar supaya tidak diserbu oleh anak panah syaithan.
Merendahkan pandangan juga merupakan tanda kerendahan hati; orang yang bangga dan sombong tidak pernah melihat kaki mereka. Itu juga suatu indikasi bahwa seseorang sedang mengikuti jejak (yang dicontohkan) Nabi (s.a.w.), yang jika berjalan tidak pernah melihat ke kiri atau ke kanan, tetapi selalu melihat ke kakinya, bergerak dengan tegas dan mantap menuju arah tujuannya. Itu juga sebuah tanda dari sebuah ketinggian maqam bila seorang pencari tidak melihat kemana-mana kecuali hanya kepada Tuhannya. Seperti seorang yang ingin sampai ke tujuannya dengan cepat, demikian juga seorang pencari Hadhirat Allah bergerak dengan cepat, tidak melihat ke kanan atau ke kirinya, tidak melihat kepada keinginan duniawi, tetapi hanya melihat kepada Hadhirat Ilahiah.
Imam ar-Rabbani Ahmad al-Faruqi (q) "Pandangan mendahului langkah dan langkah mengikuti pandangan. Perjalanan mendaki (mi’raj) ke maqam yang lebih tinggi mula-mula dengan Pandangan, diikuti Langkah. Apabila Langkah mencapai level Ketinggian dari Pandangan, maka Pandangan akan naik lagi ke tingkat berikutnya, atas itu Langkah juga mengikuti secara bergilir. Maka Pandangan akan diangkat ke tempat yang lebih tinggi lagi dan Langkah akan mengikutinya secara bergilir. Dan begitu seterusnya sampai Pandangan mencapai tingkat Kesempurnaan ke arah itulah Langkah akan ditarik (oleh Pandangan). Kita katakan, 'Bila Langkah mengikuti Pandangan, sang murid telah mencapai tingkat Kesiapan dalam mendekati Langkah Nabi (s.a.w.). Maka Langkah Nabi (s.a.w.) itu disebut juga sebagai Awal atau Sejatinya semua langkah lainnya.'"
Shah Naqshband (q) mengatakan, "Jika kita (hanya) melihat kesalahan shahabat kita, kita akan ditinggalkan tanpa teman, karena tak seorangpun sempurna."
c. Perjalanan Pulang ("safar dar watan")
Itu artinya perjalanan menuju kampung halaman. Itu artinya sang pencari berjalan dari dunia ciptaan menuju kepada dunia Sang Pencipta. Diceritakan bahwa Nabi (s.a.w.) mengatakan, "Saya akan mengunjungi Tuhan ku dari satu maqam ke maqam yang lebih baik dan dari satu stasiun ke stasiun yang lebih tinggi." Dikatakan bahwa sang pencari harus berjalan dari Kenginan untuk hal terlarang kepada Keinginan untuk Hadhirat Ilahi.
Thariqat Naqshbandi membagi perjalanan itu menjadi dua kategori. Pertama adalah perjalanan eksternal dan kedua adalah perjalanan internal. Perjalanan eksternal adalah berjalan dari satu tempat ke tempat lain mencari seorang pembimbing yang sempurna untuk membawa dan mengarahkan engkau ke sasaran yang engkau tuju. Ini akan memungkinkan engkau untuk menapak ke kategori kedua, perjalanan internal. Para pencari, sekali mendapatkan pembimbing sempurna (mursid), dilarang untuk melakukan perjalanan eksternal lainnya. Dalam perjalanan eksternal terdapat banyak kesukaran yang tak akan sanggup ditanggung oleh pemula tanpa jatuh kepada tindakan terlarang (haram), karena mereka memang masih lemah dalam ibadahnya.
Kategori kedua adalah perjalanan internal. Perjalanan internal memerlukan para pencari meninggalkan akhlaq buruk mereka dan meningkat ke akhlaq yang lebih tinggi, mencampakkan semua keinginan dunia dari kalbunya. Dia akan diangkat dari keadaan tidak bersih ke keadaan bersih atau murni. Pada saat itu dia tidak lagi memerlukan perjalanan internal lainnya. Dia telah mensucikan kalbunya, membuatnya jernih seperti air, transparan seperti kristal, mengkilap seperti cermin, memperlihatkan kebenaran dari semua hal yang esensi dari kehidupannya sehari-hari, tanpa memerlukan gerakan eksternal dari sisinya. Dalam kalbunya akan muncul semua hal yang diperlukan untuk kehidupannya dan untuk kehidupan mereka yang berada di sekelilingnya.
d. Kesendirian dalam Keramaian ("khalwat dar anjuman")
"Khalwat" berarti menyendiri. Itu artinya secara tampak luar bersama dengan manusia di sekelilingnya sementara secara batin selalu bersama Allah. Terdapat juga dua kategori "khalwat". Pertama adalah penyendirian eksternal dan kedua adalah penyendirian internal.
Penyendirian eksternal memerlukan para pencari unutk menyendiri dalam suatu tempat yang tiada orang lainnya. Tinggal disitu sendirian, dia konsentrasi dan meditasi pada Dhikrullah, mengingat Allah, agar supaya mencapai keadaan dimana Teritori Kebenaran Allah menjadi nyata (menjelma). Apabila engkau merantai indera eksternal, indera internal mu akan bebas untuk mencapai Teritori Kebenaran Langit (Surgawi). Ini akan membawamu ke kategori kedua : kesendirian internal.
Kesendirin internal berarti menyendiri diantara keramaian orang. Disitu kalbu pencari hendaknya hadir dengan Tuhannya dan absen dari dunia ciptaan sambil secara fisik berada di antara mereka. Dikatakan, "Sang pencari akan begitu terkait mendalam dengan Dhikr sunyi (sir) dalam kalbunya, meskipun dia masuk ke kerumunan orang, dia tidak akan mendengar suara mereka. Keadaan Dhikr nya telah menguasainya. Kenyataan (manifestasi) dari Hadhirat Ilahi menariknya dan membuatnya tidak sadar kepada semuanya kecuali kepada Tuhannya. Ini adalah posisi tertinggi suatu khalwat, dan dianggap khalwat yang benar, sebagaimana disebut dalam al Qur'an: "Orang-orang yang tak dapat dialihkan perhatiannya dari mengingat Allah oleh bisnis maupun keuntungan " [24:37]. Inilah cara Tharekat Naqshbandi.
Khalwat utama seorang shaykh Tharekat Naqshbandi adalah kesendirian internal. Mereka bersama Allah dan sekaligus bersama umatnya. Sebagaimana dikatakan Nabi (s.a.w.), "Saya memiliki dua sisi : satu muka menghadap Al Khaliq muka lainnya menghadap ciptaan (makhluq)." Shah Naqshband menekankan kebaikan berjamaah, bermajelis (berkumpul) ketika dia mengatakan: Tariqatuna as-suhbat wa-l-khairu fil-jamciyyat ("Tharekat kita adalah persahabatan (kebersamaan), dan Kebaikan berada dalam Kebersamaan ").
Dikatakan bahwa seorang beriman yang bergaul dengan orang dan mengangkat (memikul) kesukaran mereka lebih baik dari seorang beriman yang menyendiri dari orang. Terhadap hal yang peka ini Imam Rabbani mengatakan,
"Hendaknya diketahui bahwa sang pencari pada awalnya mungkin menggunakan khalwat external untuk mengisolasi dirinya dari orang, beribadah dan konsentrasi kepada Allah, Azza wa Jalla, sampai dia mencapai tahap yang lebih tinggi. Pada waktu itu dia akan dianjurkan oleh shaikh-nya, dalam kata-kata Sayyid al-Kharraz, Kesempurnaan bukan pada peragaan kekuatan karomah, tetapi kesempurnaan adalah duduk bersama orang (banyak), menjual dan membeli, menikah dan mempunyai anak; namun tak pernah meninggalkan kehadiran Allah bahkan sekejabpun.'"
e. Dhikr Utama (Essensi) ("yad kard")
Arti 'Yad' adalah Dhikr. Arti 'kard' adalah essensi Dhikr. Sang pencari hendaknya melakukan Dhikr dengan penolakan (negasi) dan penerimaan (affirmasi) pada lidahnya sampai dia mencapai keadaan meditasi (kontemplasi) kalbu (muraqaba). Keadaan itu akan dicapai dengan setiap hari menyebut penolakan (negasi) : LA ILAHA dan penerimaan (affirmasi) ILLALLAH pada lidah, antara 5,000 dan 10,000 kali, membuang dari kalbunya segala elemen yang akan mengotori dan membuatnya berkarat. Dhikr ini mempoles kalbu dan membawa sang pencari ke dalam keadaan Kenyataan (Manifestasi). Dia harus melakukan dhikr harian itu, baik dengan kalbu atau dengan lidah, mengulang ALLAH, yang mewakili (meliputi) semua asma dan sifat Nya, atau dengan negasi dan affirmasi melalui penyebutan LA ILAHA ILLALLAH.
Zikir harian ini akan membawa sang pencari kedalam kehadiran sempurna dari Huwa Allahu Ahad. Zikir dengan negasi dan affirmasi, dalam tatacara Shaykh Naqshbandi, menghendaki bahwa sang pencari menutup matanya, menutup mulutnya, menggigit giginya, melekatkan lidahnya pada langit-langit mulutnya, dan menahan napasnya. Dia harus membaca dhikr itu melalui kalbu, dengan negasi dan affirmasi, memulai dengan kata LA ("Tidak"). Dia mengangkat "Tidak" ini dari bawah pusarnya naik ke otaknya. Sampai di otak kata "Tidak" mengeluarkan kata ILAHA ("Tuhan"), bergerak dari otak ke bahu kiri, dan menabrak kalbu (jantung)nya dengan ILLALLAH ("kecuali Allah "). Apabila kata itu menabrak kalbu, energi dan panasnya memancar keseluruh bagian tubuh. Sang pencari yang telah menolak semua yang ada di dunia ini dengan kalimat LA ILAHA, dan menyatakan menerima kalimat ILLALLAH, artinya berada dalam keadaan bahwa semua yang exist (ada) hilang lenyap dalam Hadhirat Allah.
Sang pencari mengulang ini dengan setiap napas, menghirup dan meniup, selalu membuatnya mencapai kalbu, sesuai dengan jumlah angka yang di-instruksikan oleh shaikh-nya. Sang pencari secar berangsur akan mencapai keadaan dimana dalam satu napas dia dapat mengulang LA ILAHA ILLALLAH duapuluh tiga kali. Seorang shaikh mursid dapat mengulang LA ILAHA ILLALLAH tak terhitung banyaknya dalam setiap kali napas. Arti dari praktek ini adalah bahwa sasaran satu-satunya hanya ALLAH dan tidak ada sasaran lain lagi bagi kita. Dengan melihat Hadhirat Allah sebagai satu-satunya Kenyataan (Existensi), akan memasukkan kedalam kalbu murid itu cinta Nabi (s.a.w.) dan pada saat itu dia mengatakan, MUHAMMADUN RASULULLAH yang adalah jantung dari Hadhirat Allah.
f. Kembali ("baz gasht")
Ini adalah keadaan dimana sang pencari, yang melakukan Dhikr dengan negasi dan affirmasi, sampai kepada pengertian ungkapan Nabi (s.a.w.), ilahi anta maqsudi wa ridaka matlubi ("Ya Allah, Engkaulah yang kami Maksud dan Ridha Mu adalah dambaanku.") Pembacaan ungkapan ini akan menambah kesadaran sang pencari tentang Ke-Esa-an Allah, sampai dia mencapai keadaan di mana keberadaan semua ciptaan (makhluq) lenyap dari pandangan matanya. Semua yang dilihatnya, kemanapun dia memandang, adalah Allahu Shamadu. Murid Naqshbandi membaca dhikr macam ini agar supaya menyuling dari kalbunya rahasia Al Ahad, dan untuk membuka diri mereka kepada Kenyataan Hadhirat Allahu Shamadu. Para pemula tidak berwenang meninggalkan dhikr ini bila dia tidak mendapatkan kekuatan itu muncul dalam kalbunya. Dia harus tetap membaca dhikr ini mengikuti (meniru) Shaykh-nya, karena Nabi (s.a.w.) telah mengatakan, "Barang siapa meniru suatu golongan orang akan menjadi bagian dari golongan itu." Dan barang siapa meniru gurunya akan suatu hari mendapatkan rahasia itu terbuka untuk kalbunya.
Arti dari "baz gasht" adalah kembali kepada Allah Azza wa Jalla dengan menunjukkan kepasrahan diri sempurna dan tunduk kepada Kemauan Nya, dan kerendahan diri sempurna dengan menyampaikan semua pepujian kepada Nya. Itulah alasan Nabi (s.a.w.) menyebutkan dalam doanya, ma dzakarnaka aqqa dzikrika ya Madzkar ("Kami tidak Mengingat Engkau sebagaimana seharusnya Engkau Diingat, Ya Allah"). Sang pencari tidak dapat datang kepada hadhirat Allah dalam dzikrnya, dan tidak dapat mengungkapkan Rahasia dan Sifat Allah dalam dzikrnya, bila dia tidak melaksanakan dzikrnya itu dengan Dukungan Allah dan dengan Allah Mengingat dirinya. Sebagaimana dikatakan Bayazid: "Ketika aku mencapai Dia aku melihat bahwa ingatan Dia (kepadaku) mendahului ingatan saya kepada Nya." Sang pencari tidak dapat melakukan dzikr oleh sendirinya. Dia harus mengetahui bahwa Allah adalah justru yang sedang melakukan Dzikr melalui diri hamba Nya itu.
g. Perhatian ("nigah dasht")
"Nigah" berarti pandangan (visi). Itu artinya sang pencari hendaknya mengendalikan qalbunya dan melindunginya dengan cara mencegah masuknya pikiran buruk. Kecenderungan buruk akan menghalangi qalbu dari penyatuan diri dengan Hadhirat Allah. Diakui dalam Naqshbandiyya bahwa bagi seorang pencari dapat melindungi qalbunya dari kecenderungan buruk selama lima menit saja adalah sebuah hasil yang besar. Untuk ini saja dia sudah akan diakui sebagai seorang sufi sejati. Sufisme adalah sebuah kekuatan untuk melindungi qalbu dari pemikiran buruk dan menjaganya dari kecenderungan rendah. Barang siapa berhasil dengan dua sasaran ini akan mengerti qalbunya, dan barang siapa mengerti qalbunya akan mengenali Tuhannya. Nabi s.a.w. mengatakan, "Barang siapa mengenal dirinya sendiri, mengenal Tuhannya."
Seorang shaikh Sufi mengatakan, "Karena saya melindungi qalbu ku untuk sepuluh malam, qalbuku melindungiku untuk duapuluh tahun."
Abu Bakr al-Qattani mengatakan, "Aku adalah penjaga pintu qalbuku selama 40 tahun, dan aku tak pernah membukanya untuk siapapun kecuali Allah, Azza wa Jalla, sampai qalbuku tidak lagi mengenali siapapun kecuali Allah Azza wa Jalla."
Abul Hassan al-Kharqani mengatakan, "Telah 40 tahun Allah melihat ke dalam qalbu saya dan mendapati bahwa tak seorangpun berada disana kecuali Diri Nya Sendiri. Dan memang tidak ada ruang dalam qalbu saya untuk selain Allah."
h. Memori ("yada dasht")
Artinya pembaca zikr melindungi qalbunya dengan negasi dan affirmasi dalam setiap hembusan napas tanpa meninggalkan Hadhirat Allah Azza wa Jalla. Hendaknya sang pencari agar mempertahankan qalbunya supaya selalu berada dalam Hadhirat Allah. Ini akan membuatnya menyadari dan merasakan Cahaya Esensi dari Allah (anwar adh-dhat al-Ahadiyya). Dia kemudian membuang tiga dari empat bentuk pikiran : pikiran egoistik, pikiran jahat, dan pikiran malaikatis, sambil mempertahankan dan membenarkan hanya bentuk pikiran ke-empat, yaitu : pikiran kebenaran atau haqqani. Hal ini akan membimbing sang pencari menuju keadaan tertinggi dari kesempurnaan dengan membuang semua khayalannya dan hanya merengkuh Kebenaran yang adalah Ke-Esa-an Allah, 'Azza wa Jalla.
Abdul Khaliq al-Ghujdawani mempunyai empat orang khalifah. Yang pertama adalah Shaikh Ahmad as-Siddiq, berasal dari Bukhara. Yang kedua adalah Kabir al-Awliya ("Terbesar diantara Wali "), Shaikh Arif Awliya al-Kabir (q). Berasal dari Bukhara, dia adalah ulama terkemuka dalam Ilmu external dan internal. Khalifah yang ketiga adalah Shaikh Sulaiman al-Kirmani (q). Khalifah keempat adalah Arif ar-Riwakri (q). Kepada khalifah keempat inilah Abdul Khaliq (q) mewariskan Rahasia Mata Rantai Emas (Naqshbandi) sebelum dia meninggal pada 12 Rabi'ul-Awwal 575 H.
i. al-Wuquf al-Zamani.
Artinya, seyogyanya bagi seorang murid/salik untuk setiap dua atau tiga jam dari aktivitas hariannya untuk wuquf (berdiam diri beberapa saat) dan intropeksi diri (tafakkur); apakah selama dua atau tiga jam yang dilaluinya itu ia ingat Allah atau tidak. Jika ingat, maka bersyukur dan jika tidak, maka istigfar dan segera sadar dan kembali dari kelalaian tersebut.
j. al-Wuquf al-‘Adadi.
Artinya, sebaiknya bagi seorang murid/salik untuk selalu menghitung ganjil zikir al-Nafyu wa al-Istbatnya (zikir kalimat La ilaha illaallah) sebanyak tiga, lima dan sampai duapuluh satu kali dengan tatacara zikir nafas yang ada dalam Naqsyabandi.
k. al-Wuquf al-Qalbi.
Artinya, Upaya seorang murid/salik untuk selalu mengkontrol hatinya bersama Allah dan menghadirkan Allah dalam hatinya saat sedang zikir atau tidak dan dalam situasi dan keadaan apapun juga.
2. Naqsyabandi Haqqni
Naqsyabandi Haqqani adalah sama dengan Naqsyabandi lainnya yang ada di Timur Tengah, Rusia, Turki, Indonesia dan belahan negara lain di dunia, namun dalam hemat penulis ada dua kelebihan yang ada pada Naqsyabandi haqqani yang tidak dimiliki naqsyabandi lainnya bahkan semua tarekat pada umumnya, yaitu: pertama, Silsilah sanad masyayikh (guru) dalam tarekat Naqsyabandi Haqqani dari Rasullah SAW sampai Syekh Muhammad Nadzim Adil al-Haqqani (Mursyid tarekat Naqsyabandi Haqqani) hanya ada 40 tingkatan saja, maka sanad ini lebih dekat dari sanad-sanad Naqsyabandi lainnya, sehinnga sanad ini dikenal dengan nama silsilah dzahabiyyah (silsilah emas).
Kedua, tarekat Naqsyabandi Haqqani adalah tarekat universal, karena dalam tarekat Naqsyabandi Haqqani hanya ada satu mursyid untuk seluruh dunia, yaitu Syekh Muhammad Nadzim Adil al-Haqqani. Sedangkan di tiap-tiap wilayah atau negara hanya ada kholifah (wakil mursyid), seperti di Amerika; kholifahnya adalah Syekh Muhammad Hisyam Kabbani (beliau adalah tangan kanan syekh Nazdim, di samping sebagai menantu beliau), di Indonesia Syekh Mustafa Mas’ud, di Malasia adalah Syekh Raja (salah seorang raja di sebuah negara bagian di Malasia), di Singapura kholifahnya adalah Syekh Zakaria Bagharib dan lain-lain. Sedangkan tarekat-tarekat lain cenderung tidak universal (tarekat lokal); satu negara saja bahkan satu kota atau desa saja. Seperti yang penulis ketahui saat kuliah di Mesir dan pernah berbait dengan tarekat Rifa’iyyah (di mana mursyid Rifaiyyah di negara Mesir dan negara Suriah berbeda) ; ketika penulis nyantri di Hadramaut-Yaman dan bait tarekat Alawiyyah dan seperti penulis ketahui di Indonesia dimana misalnya Naqsyabandi kota A dan kota B bahkan kota C dan seterusnya memilki mursyid sendiri-sendiri dan tidak saling mengenal.
Dan alhamdulillah Naqsyabandi Haqqani Indonesia telah tersebar dengan cepat ke hampir seluruh propinsi di Indonesia, walaupun tarekat ini baru resmi masuk Indonesia pada tanggal 5 April 1997 ketika kali perdana Syekh Muhammad Hisyam Kabbani berkunjung ke Jakarta atas amanat Syekh Muhammad Nazdim Adil al-Haqqqani yang pada saat itu K.H. Mustafa Mas’ud (Syekh Mustafa Mas’ud) di tunjuk dan di bai’at (sumpah) sebagai Kholifah Naqsyabandiyyah Haqqaniyyah oleh Syekh Muhammad Hisyam Kabbani atas intruksi dari Syekh Muhamad Nazdim Adil al-Haqqani.
Adapun lahirnya tarekat Naqsyabandi Haqqani adalah pada tanggal 4 Ramadlan 1393 H. atau 30 September 1973 saat Syekh Abdullah Faiz al-Daghestani wafat (Mursyid tarekat Naqsyabandi Daghestani) dan memberikan amanat kepada salah seorang murid kesayangannya, yaitu Syekh Muhammad Nazdim Adil al-Haqqani sebagai mursyid tarekat Naqsyabandi. Maka sejak saat itulah tarekat Naqsyabandi yang dipimpin oleh mursyid Syekh Muhammad Nadzim Adil al-Haqqani dikenal nama tarekat Naqsyabandiyyah Haqqaniyyah (Naqsyabandi Haqqani).
3. Biografi Syekh Muhammad Nazdim Adil al-Haqqani.
Berikut ini adalah biografi singkat guru dan muryid kami, yaitu Syekh Muhammad Nazdim Adil al-Haqqani yang penulis ringkas dari tulisan Dr. G. F. Haddad dan dari tulisan-tulisan lain yang menerangkan biografi beliau ;
Nama lengkap Mawlana adalah Muhammad Nazim Adil ibn al-Sayyid Ahmad ibn Hasan Yashil Bash al-Haqqani al-Qubrusi al-Salihi al-Hanafi q.s., semoga Allah swt. mensucikan ruhnya dan merahmati kakek moyangnya. Kunyah (nama panggilan) beliau adalah Abu Muhammad; dari nama anak laki-laki tertua beliau, selain itu beliau pula adalah ayah dari Bahauddin, Naziha, dan Ruqayya.
Beliau dilahirkan pada hari Ahad, tanggal 28 Sya’ban 1340 H./23 April 1922 M. di kota Larnaka, Siprus (Qubrus) dari suatu keluarga Arab dengan akar-akar budaya Tatar. Ayah beliau adalah keturunan dari Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani q.s. dan ibu beliau adalah keturunan dari Mawlana Jalaluddin ar-Ruumi q.s. Ini menjadikan beliau sebagai keturunan dari Nabi suci Muhammad saw., dari sisi ayahnya, dan keturunan dari Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq, dari sisi ibundanya.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Siprus, Mawlana melanjutkan ke perguruan tinggi di Istanbul dan lulus sebagai sarjana Teknik Kimia. Di sana, beliau juga belajar bahasa Arab dan Fiqh, di bawah bimbingan Syaikh Jamal al-Din al-Alsuni q.s. (wafat 1375H/1955M) dan menerima ijazah dari beliau. Mawlana juga belajar tasawwuf dan Thariqat Naqsybandi dari Syaikh Sulayman Arzarumi q.s. (wafat 1368H/1948M) yang akhirnya mengirim beliau ke Syams (Syria).
Mawlana melanjutkan studi Syariah-nya ke Halab (Aleppo) Hama, dan terutama di Homs. Beliau belajar di zawiyyah dan madrasah masjid sahabat besar Khalid ibn Al-Walid y di Hims/Homs di bawah bimbingan Ulama besarnya dan memperoleh ijazah dalam Fiqh Hanafi dari Syaikh Muhammad Ali Uyun al-Sud q.s. dan Syaikh Abd al-Jalil Murad q.s., dan ijazah dalam ilmu Hadits dari Muhaddits Syaikh Abd al-Aziz ibn Muhammad Ali Uyun al-Sud al-Hanafi q.s.
Perlu dicatat bahwa yang terakhir adalah salah satu dari sepuluh guru hadits dari Rifa’i Hafizh di Aleppo, Syaikhul Islam Abd Allah Siraj al-Din q.s. (1924-2002 M), yang duduk berlutut selama dua jam di bawah kaki Mawlana Syaikh Abdullah Faiz Daghestani q.s. ketika yang terakhir ini mengunjungi Aleppo di tahun 1959 dan yang memberikan baiat dalam Thariqat Naqsybandi pada Mawlana Syaikh Nazim q.s., ketika Mawlana Syaikh Nazim q.s. mengunjunginya terakhir kali di Aleppo di tahun 2001, sebagaimana diriwayatkan oleh Ustadz Muhammad Ali ibn Mawlana al-Syaikh Husayn Ali q.s. dari Syaikh Muhammad Faruq Itqi al-Halabi q.s. yang juga hadir pada peristiwa terakhir itu.
Mawlana Syaikh Nazim q.s. juga belajar di bawah bimbingan Syaikh Said al-Siba’i q.s. yang kemudian mengirim beliau ke Damaskus setelah menerima suatu pertanda berkaitan dengan kedatangan Mawlana Syaikh Abdullah Faiz Ad-Daghestani q.s. ke Syria. Setelah kedatangan awal beliau ke Syria dari Daghestan di akhir tahun 30-an, Mawlana Syaikh Abdullah q.s. tinggal di Damaskus, tetapi sering pula mengunjungi Aleppo dan Homs. Di kota yang terakhir inilah, beliau mengenal Syaikh Sa’id al-Siba’i q.s. yang adalah pimpinan dari Madrasah Khalid bin Walid. Syaikh Sa’id q.s. menulis pada beliau (Mawlana Syaikh Abdullah q.s.), Kami mempunyai seorang murid dari Turki yang luar biasa, yang tengah belajar pada kami. Mawlana Syaikh Abdullah q.s. menjawab padanya, Murid itu milik kami; kirimkan dia kepada kami! Sang murid itu adalah guru kita, Mawlana Syaikh Nazim q.s., yang kemudian datang ke Damaskus dan memberikan baiat beliau pada Grandsyaikh kita pada kurun waktu antara tahun 1941 dan 1943.
Pada tahun berikutnya, Mawlana Syaikh Abdullah q.s. pindah ke rumah baru beliau yang dibeli oleh murid Syria pertamanya, dan khalifahnya yang masih hidup saat ini, Mawlana Syaikh Husayn ibn Ali ibn Muhammad Ifrini al-Kurkani ar-Rabbani al-Kurdi as-Syaikhani al-Husayni q.s. (lahir 1336H/1917M) di Qasyoun, suatu gunung yang menghadap Damaskus, yang Allah swt. berfirman tentangnya; “Demi Tiin dan buah Zaitun! Demi Bukit Sinai!” (QS. 95:1-2). Qatadah dan al-Hasan Al-Basri berkata, At-Tiin adalah Gunung di mana Damaskus terletak [Jabal Qasyoun] dan Zaitun adalah Gunung di mana Jerusalem terletak. Diriwayatkan oleh Abd al-Razzaq, al-Tabari, al-Wahidi, al-Bayzawi, Ibn al-Jawzi, Ibn Katsiir, al-Suyuti, as-Syaukani, dll., semua dalam tafsir-tafsir mereka.
Mawlana Syaikh Nazim q.s. juga membeli sebuah rumah dekat rumah Grandsyaikh dan bersama Mawlana Syaikh Husayn q.s., membantu membangun Masjid al-Mahdi, Masjid Grandsyaikh, yang akhir-akhir ini diperbesar menjadi sebuah Jami’, di mana di belakangnya terletak maqam dan zawiyyah Grandsyaikh, di tempat mana, hingga saat ini, makanan dan sup ayam yang lezat disiapkan dalam kendi-kendi yang besar dan dibagi-bagikan bagi kaum fuqara dan miskin dua kali dalam seminggu.
Kemudian Mawlana Syaikh Nazim tinggal di Damaskus sejak pertengahan tahun 40-an hingga awal 80-an, sambil sesekali melakukan perjalanan untuk belajar atau sebagai wakil dari Grandsyaikh, hingga Grandsyaikh wafat di tahun 1973. Setelah tahun itu, Mawlana tinggal di Damaskus beberapa tahun sebelum kemudian pindah ke Siprus.
Jadi, Mawlana, yang aslinya Cypriot, dan Grandsyaikh, yang asalnya Daghistani, keduanya telah menjadi penduduk Damaskus (Syamiyyun) dan tinggal di distrik orang-orang salih (as-saalihiin) yang disebut Salihiyya! Tak ada keraguan lagi, bahwa pentingnya Damaskus bagi Mawlana dan Grandsyaikh adalah karena Syam adalah negeri yang penuh barakah dan terlindungi melalui para Nabi dan Awliya.
Pada tahun 1952 beliau dinikahkan oleh Grandsyaikh dengan salah seorang muridnya, yaitu Hajjah Aminah Hatun Adil. Dan pada tahun 1955 beliau melakukan Khalwat pertama dengan petunjuk Grandsyekh Abdullah Faiz al-Daghestani selama enam (6) bulan di Sueileh, Jordania. Segera setelah selesai khalwat di Jordania, Grandsyekh atas perintah Nabi M uhammad SAW memerintahkan Syaikh Nazim untuk melaksanakan khalwat di Baghdad, Irak, tepatnya di Makam Qutub Al Awliya As Sayyid Syaikh Abdul Qadir Al-Jaelani (q) selama enam bulan. Dalam satu hari beliau diberikan kekuatan dan berkah dari Illahi Robbi untuk mampu bertahlil (La ilaaha illAllah) 124.000 kali, shalawat Nabi, disamping selalu konstan membaca kitab Al Qur’an dan Dalail al-Khayrat, dan mengucap lafaz Allah 313.000 kali sehari semalam. Sejumlah khalwat beliau laksanakan di beberapa tempat, seperti Makkah, Madinah, Turki dengan jangka waktu yang bervariasi antara 40 hari sampai dua tahun. Pada tanggal 30 September 1973 (4 Ramadhan 1393 H) Syaikh Abdullah Faiz Ad-Daghestani berpulang ke Rakhmatullah dengan meninggalkan wewenang kepada Syaikh Nazim Adil Haqqani sebagai Mursyid dalam mata rantai Thariqah Naqshbandi, dan sejak itu dikenal dengan nama Naqshbandi Haqqani. Di mulai tahun 1974 Syaikh Nazim Haqqani memulai dakwahnya di Eropa, khususnya Inggris (London) dan Jerman. Di seantero Turki, khususnya Siprus sampai saat ini Syaikh Nazim Haqqani dikenal sebagai sebutan “Syaikh Qubrusi” atau Syaikh Nazim Yezibas (Syaikh Nazim yang berturban hijau). Alhamdulillah, sudah beribu-ribu non-muslim yang telah di-syahadatkan beliau, sekaligus diambil bai’at sebagai pengikut tarekat Naqsyabandiyyah sehingga banyak para ulama dan Ahlul Thariqah yang meyakini beliau sebagai Sulthanul Auliya pada zaman sekarang ini.
Dari tiga puluh tahun suhbat (asosiasi) yang barakah antara Mawlana dan Grandsyaikh tersebut, muncullah Mercy Oceans (secara literal berarti Samudera Kasih Sayang, merujuk pada buku-buku lama kumpulan suhbat Mawlana Syaikh Nazim al-Haqqani q.s.) yang tak tertandingi, yang hingga kini masih tersebar pada setiap salik/pencari dengan judul-judulnya: Endless Horizons (Cakrawala tanpa Batas), Pink Pearls (Mutiara-Mutiara Merah Muda, penerj.), Rising Suns (Matahari-Matahari yang tengah terbit). Tak ada keraguan lagi, kumpulan-kumpulan suhbat awal tersebut adalah tonggak-tonggak utama dari seruan dakwah Islam seorang diri Mawlana Syaikh Nazim q.s. di Amerika Serikat dan Eropa, dengan karunia Allah swt.! Semoga Allah swt. melimpahkan lebih banyak barakah-Nya pada Mawlana Syaikh Nazim q.s. dan mengaruniakan pada beliau maqam-maqam tertinggi yang pernah Dia karuniakan bagi kekasih-kekasih-Nya, berdekatan dengan junjungan kita; Sayyidina Muhammad saw.
Beliau telah banyak menulis buku mengenai spritualitas dan pengetahuan tentang ma’rifat yang telah diterbitkan di seluruh penjuru dunia. Beliau mengikuti jalan yang moderat dan bijak dalam mengadakan pendekatan kepada orang-orang dan mengangkat tentang topik-topik masa kini. Beliau memilki kepribadian yang sangat karismatik sehingga membuat banyak orang beranjak dan tertarik kepada manifestasi Cinta Ilahi yang terus menerus tercurah dari hati sucinya. Senyumnya yang ramah selalu hadir; adalah nektar cinta yang membuat ribuaan orang tertarik untuk masuk ke dalam Islam setiap tahunnya. Ini adalah salah satu karomah beliau yang paling agung dalam pandangan penulis, selain masih banyak karomah-karomah lain beliau yang pernah penulis baca atau dengar yang sengaja tidak ditulis penulis dalam tulisan ini semata karena takut tulisan ini terlalu panjang. Belum lagi, haram hukumnya menuliskan karomah seorang wali yang masih hidup tanpa sepengetahuan dan seizin wali yang bersangkutan.
Di antara nama guru-guru beliau dalam sanad tarekat Naqsyabandi adalah; Sultan al-Awliya Mawlana as-Syaikh Abd Allah bin Muhammad Ali ibn Husayn al-Fa’iz ad-Daghestani tsumma asy-Syami as-Salihi q.s. (ca. 1294-1393 H); dari Syaikh Syaraf ud-Din Zayn al-Abidin ad-Daghestani ar-Rasyadi q.s. (wafat 1354 H); dari paman maternal (dari sisi ibu) beliau, Syaikh Abu Muhammad al-Madani ad-Daghistani al-Rasyadi q.s.; dari Syaikh Abu Muhammad Abu Ahmad Hajj Abd ar-Rahman Effendi Ad-Daghistani ats-Tsughuri q.s. (wafat 1299 H); dari Syaikh Jamal ud-Din Effendi al-Ghazi al-Ghumuqi al-Husayni q.s. (wafat 1292 H); juga (keduanya baik ats-Tsughuri maupun al-Ghumuqi) dari Muhammad Effendi ibn Ishaq al-Yaraghi al-Kawrali q.s. (wafat 1260 H); dari Khass Muhammad Effendi asy-Syirwani ad-Daghestani q.s. (wafat 1254 H); dari Syaikh Diyauddin Isma’il Effendi Dzabih Allah al-Qafqazi asy-Syirwani al-Kurdamiri ad-Daghestani q.s.; dari Syaikh Isma’il al-Anarani q.s. (wafat 1242 H); dari Mawlana Diyauddin Khalid Dzul-Janahain ibn Ahmad ibn Husayn as-Shahrazuri al-Sulaymani al-Baghdadi al-Dimashqi an-Naqsybandi al-Utsmani ibn Utsman ibn Affan Dzun-Nurayn q.s. (1190-1242 H) dengan rantai isnad-nya yang masyhur hingga Syah Naqsyband Muhammad ibn Muhammad al-Uwaysi al-Bukhari q.s. yang berkata:
“Thariqat kami adalah SHUHBAH (persahabatan) dan kebaikannya adalah dalam JAMA’AH (kelompok)”
Semoga Allah swt. meridhai diri mereka semuanya, merahmati mereka, dan mengaruniakan pahala-Nya bagi mereka, dan memberikan manfaat bagi kita lewat mereka melalui telinga kita, kalbu-kalbu kita, dan keseluruhan wujud diri kita, Amin!
Dan sebagai penutup dari tulisan singkat dan sedarhana ini, penulis menukil perkataan Imam Malik bin Anas (Peangasas mazhab Fiqh Maliki dan salah seorang guru Imam Syafi’i), beliau berkata: “Barangsiapa bertasawwuf tapi tidak bersyariat, maka ia adalah seoarang kafir zindiq; Barang siapa bersyariat tapi tidak bertasawuf, maka ia adalah orang fasiq dan: Barangsiapa menggabungkan keduanya, maka sungguh ia telah mencapai hakikat kebenaran,”[44]
Semoga tulisan singkat dan sederhana ini bisa menjadi amal jariah penulis dan menjadi perantara untuk mendapatkan ridlo Allah SWT, ridlo Nabi Muhammad SAW, ridlo kedua orang tua, Ridlo guru-guru, terutama ridlo Syaik Muhammad Nazdim, Syaikh Muhammad Hisyam dan Syaikh Mustafa Mas’ud, ridlo semua umat Islam dan ridlo seluruh manusia bahkan ridlo semua makhluk ciptaan Allah SWT. Amin. Dan semoga tulisan ini bisa memberikan manfaat dunia-akhirat bagi siapa saja yang membacanya. Amin. Maka jika ada kebenaran dalam tulisan ini, itu semua semata karena karunia Allah SWT dan jika ada salah didalmnya, maka itu semata karena jahilnya penulis, oleh karena itu mohon bimbingan dan koreksinya dari semua pembaca! Wallahu a’alam bi al-Showab.
Temenggungan-Malang: Dhahwah al-Arbi’a; 12 Syawal 1428 H./24 Oktober 2007 M.
Daftar Kepustakaan
al-Hifni, Abd. Mun’im, “al-Mausu’ah al-Sufiyyah”, Mesir: Dar al-Rasyad, cet. I; 1992,
Al-Ghazali, Muhammad bin Muhammad “Mukhtashar Ihya Ulum al-Din”, Baerut: Dar al-Fikr, cet. I, 1993
Al-Kurdi al-Naqsyabandi, Muhammad Amin “Tanwir al-Qulub” Bairut: Dar al-Fikr; 1994,
Al-Rifa’I, Yusuf al-Sayid Hasyim “al-Sufiyyah wa al-Tasawwuf fi Dlau al-Kitab wa al-Sunnah” Kuwait: tt.; cet. I: 1999,
Al-Syatibi, Imam“al-I’tisham”, juz I, hlm. 68; dalam CD al-Maktabah al-Syamilah I;
al-Qonuji, Shaqiq bin Hasan “Abjad al-Ulum al-Wasyi al-Marqum fi Bayani ahwal al-Ulum”, Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah; 1978
Muslim, Imam “Sahih Muslim”; Juz I, hlm. 39 dalam CD al-Maktabah al-Syaqmilah
Sujuthi, Mahmud ”Politik Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah Jombang : studi tentang hubungan Agama, negara dan masyarakat” Yogyakarta : Galang Pr`ess, 2001,
Simuh, “Tasawuf dan Perkembangannya dalam”, Jakarta: Rajawali Pers, Cet. I, 1996,
Syukur, Amin“Tasawuf Sosial”, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. I, 2004,
Permasalahan Thariqah; Hasil kesepakatan Muktamar dan Musyawarah Besar Jam’iyyah Ahlith Thariqah al-Mu’tabarah Nahdlatul Ulama (1975-2005), Surabaya : Khalista, cet. I, 2006.
[1]Adalah seorang khodim al-Tarekat al-Naqsyabandiyah al-Haqqaniyah di Zawiyah Betek-Malang dan Khodim al-Ilmi; sebagai dosen tetap Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri (UIN) Malang Jawa Timur. Dan Abbas Arfan adalah nama yang diberikan ayahanda penulis; Abdurahman bin Abdullah bin Muhammad bin Umar Arfan Baraja. Sedangkan nama penulis yang di berikan oleh Syekh Muhammad Hisyam al-Kabbani al-Rabbani saat bertemu di Jakarta dan dapat bai’at khusus langsung dari beliau adalah Muhammad Amin.
[2] M. Amin Syukur, “Tasawuf Sosial”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. I, 2004), hlm. 3
[3] Ibid. hlm. 3-4.
[4] Nama lengkapnya: Abu al-Qasim; Abdul Karim bin Hawazan al-Qusyairi, menulis beberapa karya tulis dalam berbagai ilmu, namun selalu berorientasi pada kajian tasawwuf, seperti Tafsir Isyari; sebuah tafsir al-Quran dari sudat pandang tasawwuf. Dan kitabnya yang sangat mashur adalah al-Risalah al-Qusyairiyyah” Lahir di Naisabur pada Rabiul awal 376 H./986 M. Dan wafat pada Rabiul akhir 465 H./ 1703 M. (al-Mausuah al-Sufiyyah)
[5] al-Qonuji, “Abjad al-Ulum al-Wasyi al-Marqum fi Bayani ahwal al-Ulum”, (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah; 1978) Juz II, hlm. 156.
[6] Nama lengkap beliau adalah Syekh Yusuf bin al-Sayid Hasyim al-Rifa’i; salah seorang ulama dan syekh Tariqat Rifa’iyyah di Kuwait. Beliau banyak memilki yayasan pendidikan Islam dan sosial di Kuwait dan pernah menjabat menteri beberapa kali dalam beberapa depertemen pemerintahan di Kuwait, seperti kementerian pos dan telekomunikasi, kementerian negara dan lain-lain. Lahir di Kuwait tahun 1351 H./1932 M.
[7] Al-Rifa’I, “al-Sufiyyah wa al-Tasawwuf fi Dlau al-Kitab wa al-Sunnah” (Kuwait: tt.; cet. I: 1999), hlm. 21.
[8] Nama lengkapnya: Abu al-Abbas; Ahmad bin Muhammad bin al-Mahdi al-Hasani al-Anjari (1160-1224 H.) lahir dan wafat di kota Anjarah-Maroko. Seorang ulama besar yang banyak memilki karangan dalam bidang tasawuf dan yang terkenal adalah “Iqadl al-Himam fi Syarh Hikam” dan yang sangat menakjukan adalah karyanya yang mengagabungkan antara ilmu nahwu dengan tasawwuf dalam kitabnya “al-Futuhat al-Quddusiyyah fi Syarh al-Jurumiyyah”. (al-Mausu’ah al-Sufiyyah).
[9] Al-Qonuji, Op Cit.,hlm. 153.
[10] M. Amin Syakur, Op Cit., hlm. 4
[11] Sahih Muslim; Juz I, hlm. 39 dalam CD al-Maktabah al-Syaqmilah I
[12] M. Amin Syakur, Loc Cit.
[13] Ibid..
[14] al-Kurdi al-Naqsyabandi, “Tanwir al-Qulub” (Bairut: Dar al-Fikr; 1994), hlm. 366.
[15] Al-Syatibi, “al-I’tisham”, juz I, hlm. 68; dalam CD al-Maktabah al-Syamilah I;
فصل الوجه الرابع من النقل
ما جاء في ذم البدع وأهلها عن الصوفية المشهورين عند الناس وإنما خصصنا هذا الموضع بالذكر وإن كان فيما تقدم من النقل كفاية لأن كثيرا من الجهال يعتقدون فيهم أنهم متساهلون في الاتباع وأن اختراع العبادات والتزام ما لم يأت في الشرع التزامه مما يقولون به ويعملون عليه وحاشاهم من ذلك أن يعتقدوه أو يقولوا به فأول شيء بنوا عليه طريقتهم اتباع السنة واجتناب ما خالفها حتى زعم مذكرهم وحافظ مأخذهم وعمود نحلتهم
[16] Lihat al-Rifa’i, Op Cit., hlm. 50-110.
[17] M. Syakur Amin, Loc Cit.
[18] Mahmud Sujuthi, ”Politik Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah Jombang : studi tentang hubungan Agama, negara dan masyarakat” (Yogyakarta : Galang Pr`ess, 2001), hlm. 4-5
[19] Ibid.
[20] Terkait dengan permasalahan tajrid dan mutasabbib ini, salah seorang sufi besar yang bernama Imam Ibn Athoillah al-Sakandari (penulis al-Hikam) menulis sebuah kitab yang secara khusus membahas tentang maqam tajrid dan maqam mutasabbib, serta keunggulan tajrid atas mutasabbib, yaitu kitab dengan judul; al-Tanwir fi Isqothi al-Tadbir.
[21] al-Rifa’i, Op. Cit., hlm. 12
[22] al-Qonuji, Op. Cit., hlm. 155.
[23] Beliau adalah Abdurahman bin Kholdun; lahir di Tunisia tahun 732 H., dibesarkan di Andalusia (Spayol) dan wafat di Cairo tahun 808 H., beliau sejarawan terkenal dan sufi yang mastur (tidak dikenal); banyak memilki karangan dan yang paling terkenal adalah kitab enam jilid yang berjudul “al-Ibar wa Diwan al-Mubtada wa al-Khobar fi Tariekh al-al-“ajam” yang muqaddimah (pembukaan) dari kitab itu lebih di kenal dengan nama “Muqaddimah Ibn al-Kholdun” . Kitab ini diterjemahkan ke berbagai bahasa dan menjadi rujukan utama awal kebangkitan peredaban barat dalam membidani lahirnya ilmu sosiologi. (al-Mausu’ah al-Sufiyyah, hlm. 144-148.
[24] Al-Qonuji, Loc. Cit.
[25] Mahmud Sujuti, Op. Cit., hlm. 3
[26] Ibid., hlm. 3-4.
[27] al-Rifa’i, Op Cit., hlm. 5-6.
[28] Salah seorang syekh dan mursyid tarekat Naqsyabandi pada masanya di Mesir; salah seorang ulama besar yang alim dalam bidang syariat dan tasawwuf yang berdarah Kurdistan, lahir di kota Irbil/Arbil-Iraq Utara pada abad 13 H. Wafat di Mesir pada malam Ahad tgl. 12 Rabiul Awwal th. 1332 H. Beliau di makamkan dekan makam dua ulama besar, yaitu: Imam al-Jalal al-Mahalli dan Imam al-Taj al-Subki. Kitab Tanwirul Qulub-nya berisi empat bahasan; Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Fiqh Mazhab Imam Syafi’I, Ilmu Tasawwuf dan Kajian Tarekat Naqsyabandi. Kitab ini menjadi rujukan utama dalam ilmu tasawwuf umumnya dan pegangan tarekat Naqsyabandi khususnya di seluruh dunia. Radiallahu anhu wanafaana bih wa bi ulumih wa asraririh wa barakatih fi darain. Amin.
[29] Kitab ini menjadi kajian rutin mingguan di Zawiyah Betek-Malang yang di asuh oleh penulis.
[30] al-Kurdi al-Naqsyabandi, “Tanwir al-Qulub fi Mu’amalah Ulum al-Ghuyub”, (Baerut: Dar al-Fikr, 1994), hlm. 364.
[31] Mahmud Sajuti, Op Cit., hlm. 6
[32] Ibid.
[33] Ibid., hlm. 6-7
[34] Abd. Mun’im al-Hifni, “al-Mausu’ah al-Sufiyyah”, (Mesir: Dar al-Rasyad, cet. I; 1992), hlm. 264-270.
[35] Simuh, “Tasawuf dan Perkembangannya dalam”, (Jakarta: Rajawali Pers, Cet. I, 1996), hlm. 40-41.
[36] Permasalahan Thariqah; Hasil kesepakatan Muktamar dan Musyawarah Besar Jam’iyyah Ahlith Thariqah al-Mu’tabarah Nahdlatul Ulama (1975-2005), (Surabaya : Khalista, cet. I, 2006), hlm 21-22.
[37] Mahmud Sajuti, Op Cit., hlm. 7
[38] Ibid.
[39] Ibid., hlm. 8
[40] al-Ghazali, “Mukhtashar Ihya Ulum al-Din”, (Baerut: Dar al-Fikr, cet. I, 1993), hlm. 21.
[41] Salah seorang ulama besar dan sufi yang alim dari maroco yang meninggal tahun 1354 H.
[42] al-Rifa’i, Op Cit., hlm. 188-195.
[43] Al-Kurdi al-Naqsyabandi, Op. Cit., hlm. 439-440.
[44] Al-Rifa’I, Op. Cit., hlm. 53.
Selasa, 04 Maret 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar